"Kisah hikayat prang sabi"
Pada awal tahun 1902 kira-kira terdapat dua atau tiga ribu pejuang Aceh yang masih berada di Pidie. pidie merupakan salah satu basis perlawanan Rakyat Aceh selain, Aceh utara, kutaradja, lambaro,dsb.
pada
Tahun 1902, perang Aceh telah berjalan hampir 30 Tahun lamanya, Dan pidie masih
merupakan salah satu basis perlawanan Rakyat Aceh.
antara
tahun 1902-1905, kira-kira 4.000 orang Aceh yang tewas, tetapi masih ada 2.000
orang pejuang Aceh yang selalu siap dalam perang sabil.
Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh
terakhir yang berdaulat. Ia memimpin Kerajaan Aceh Darussalam saat perang
berkecamuk. Sebagian besar usianya habis dalam perjuangan mempertahankan
kedaulatan Aceh. Meski tubuhnya ditawan, ia tak pernah mau melepaskan tanah
airnya ke penjajah.
Sultan
Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan putra Tuanku Cut Zainal Abidin. Ia cucu
dari Sultan Alaidin Mansur Syah (1857–1870), raja ke-33 yang memimpin Kerajaan
Aceh Darussalam.
Meskipun
Sultan Aceh sudah menyerah (1903), yakni Sultan Terakhir Aceh, Muhammad
Daudsyah ulama
Aceh Teungku Cot Plineng di Pidie terus
menyerukan agar orang-orang Aceh tetap gigih berjuang
melawan kafir. perang tersebut disebut juga sebagai Jihad Fi Sabilillah, atau
perang sabil.
pihak
Belanda menyebutnya sebagai perang Aceh Salah seorang pemimpin yang berjuang di
pidie adalah yang sangat berpengaruh adalah Teuku Ben Peukan, putra uleebalang
Meureudu bersama Nyak Muda ikut berjuang di Pidie.
Pada
bulan pasukan tentara yang dipimpin oleh Nyak Muda diserang oleh pasukan
Belanda
dan
menewaskan 17 orang. Kejadian tersebut terjadi pada bulan September 1903,
dengan
dipimpin oleh Teuku Ben Peukan bersama Nyak Muda, Teuku Ma’ Udin Meureudu,
Teuku Ubit Samalanga dan Pang Seneh berhasil menyerang pasukan Belanda di hulu Meureudu
yang menewaskan empat orang dari pasukan
Belanda.
pada bulan Desember 1903, terjadi peristiwa
pasukan Belanda mengadakan serangan balik ke pidie dan menewaskan 18 orang
pejuang Aceh di antaranya Panglima Meureudu Pakeh.
serangan
belanda tersebut membawa dampak yang besar hingga Kemudian 200 orang pejuang
Aceh di pidie terpaksa menyerah , diantaranya
termasuk
sebagian uleebalang seperti Teuku Ben Peukan bersama tujuh orang panglimanya
serta 45 orang pengikutnya Teuku Muda
Lhon yang merupakan kemenakan Panglima Polem menyerah 6 Maret 1904 bersama 20
orang pengikutnya di pidie.
Sedangkan
Teuku Rayek, seorang pembesar di pidie , putra uleebalang Teungoe, Pidie yang
memihak muslimin ditembak mati oleh Belanda pada 8 Juni 1904,
kemudian
tokoh lainnya, Pang Andah, yang merupakan tangan kanan Teuku Ali Baid tewas
bersama Nyak Muda Daud pada 3 Juli 1904, dan Nyak Muda tewas bersama Pang Saneh
pada 30 April 1904, setelah melakukan penyerangan kereta api, pembakaran rumah,
menghancurkan jaringan telepon dan sebagainya.
Pada
bulan Oktober 1904, Habib Cut dari Ie Leubeue menyerah disusul kemudian dengan
Teuku Keujruen Bugis dari Beunga pada bulan November 1904. Sementara itu
Teungku Cot Plieng pada tanggal 2 Juli 1905 tewas ditembak pasukan Letnan
Terwogt di Hulu Krueng Tiro.
Sebulan kemudian (14 Agustus 1905), Teungku Di
Alue Keutapang tewas terkena peluru Letnan Velsing di huluKrueng (sungai)
Meureudu.
Teungku
Cot Cicem terus melakukan perlawanan bersama 400 laskarnya menghancurkan
pasukan Belanda. Pasukan Cot Cicem merupakan salah satu pasukan yang mengikuti
teknologi perang pasukan Belanda, yaitu berbaris dengan rapi, menggunakan aba-aba
terompet dan sebagainya sehingga tidak berbeda dengan pasukan Belanda.
Ulama
ini akhirnya gugur bersama 11 orang laskarnya dalam satu pertempuran di hulu
Sungai Krueng Baro pada 29 Maret 1906.
Perjuangannya
dilanjutkan oleh Teungku Leman dengan menyerang pos Belanda (20 Juni 1907) di
Keumala, namun pada 15 April 1908, Teungku Leman gugur bersama 33 orang
pengikutnya di Gle Krueng Reubah.
Selama
tahun 1908, pihak Aceh banyak mendapat tekanan berat, pasukan Belanda berhasil
menewaskan 269 orang Aceh, di antaranya 17 orang Pang (Panglima), Teungku seperti Teungku Hasan Teiteu atau
Teungku Pante Kulu.
Akan
tetapi pengejaran terhadap laskar Aceh terus dilakukan, bahkan Letnan H.J. Schmidt
mendapat tugas khusus untuk mengejar ulama-ulama Tiro.
tokoh
lainnya adalah Ulama dari pidie yakni Teungku Di Bukit atau Tengku Beb, putra
Teungku Chik Di Tiro
Muhammad
Saman, ia gugur dalam pertempuran pada
tanggal 5 September 1910 di hulu Alue Simie. pada tanggal 29 September 1911
Habib Teupin Wan gugur,ia merupakan seorang Ulama berpengaruh di pidie dalam
perang Aceh di Pidie
disusul
kemudian 2 Desember 1911, Teungku Chik Maat gugur dalam pertempuran dekat
Tangse. Selanjutnya bulan Desember 1912 bengkel senjata milik Chik Di Tiro di
Beunga dapat dirampas oleh pasukan Belanda.
satu persatu Ulama yang memimpin perlawanan di
pidie Dengan demikian perlawanan terbuka
di Pidie berakhir.
Teungku
chik pante kulu
Teungku
Chik Haji Muhammad Pante Kulu atau lebih dikenal dengan Teungku Chik Pante Kulu
lahir pada tahun 1836 di desa Pante Kulu pemukiman Titeue, kecamatan
Kemalawati, Pidie.
Teungku Chik Pante Kulu juga masih ada hubungan kerabat
dengan kelompok ulama di Tiro.
Sejak
kecil Teungku Chik Pante Kulu sudah mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan
di dayah di Tiro pimpinan Teungku Chik Muhammad Amin Dayah Cut.
Setelah mendapat gelar Teungku Di Rangkang dan
mahir berbahasa Arab kemudian melanjutkan studi ke Mekkah sambil menunaikan
ibadah haji.
Di
Mekkah selain mempelajari ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya seperti
logika, filsafat dan sastra, Teungku Chik Pante Kulu juga menjalin hubungan
dengan pemimpin-pemimpin gerakan Wahabi.
Gerakan Wahabi yang dipimpin oleh ulama
Muhammad bin Abdul Wahab sebagai gerakan kebangkitan Islam telah mempengaruhi
jiwa Teungku Chik Pante Kulu.
Teungku
Chik Pante Kulu memiliki jiwa seni sehingga senang membaca buku-buku syair Arab
khususnya tentang perang di zaman Rasul, seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah
bin Malik, Ka’ab bin Zubair.
Selain itu juga senang mempelajari sejarah
pahlawan-pahlawan Islam, seperti Khalid bin Walid, Umar bin Kattab, Hamzah,
Usamah bin Zaid, dan Thariq bin Ziyad.
Setelah
empat tahun di Mekkah, Teungku Chik Pante Kulu pulang ke Aceh untuk membantu
laskar Aceh melawan Belanda.
Ketika sampai di Aceh langsung mendapat tugas dari
gurunya, Teungku Chik Muhammad Amin Dayah Cut untuk menyusul Teungku Cik Di
Tiro berjuang di Aceh Besar.
Dengan
bakat seni dan sastra yang dimiliki khususnya kesusastraan Aceh, Teungku Chik
Pante Kulu tidak hanya pandai dalam mengarang sajak-sajak tetapi juga pandai
membaca sajak tersebut dengan suara merdu.
Mengenai
hal ini dalam perjalanan pulang ke Aceh Teungku Chik Pante Kulu telah
meciptakan sebuah karya sastra Aceh yang sangat terkenal, yaitu “Hikayat Prang
Sabi” atau hikayat perang sabil
Pengaruh
hikayat prang sabi terhadap mentalitas para pejuang sangat besar. Setiap orang
yang membaca dan mendengar hikayat prang sabi maka
dengan
suka rela menjadi laskar muslimin apalagi bila dibaca langsung oleh Teungku
Chik Pante Kulu dengan suaranya yang merdu.
Masyarakat
Aceh membaca hikayat prang sabi di dayah-dayah atau pesantren,
meunasah-meunasah dan di rumah-rumah atau di tempat lainnya
sebelum
pergi berperang melawan Belanda. Di daerah-daerah yang telah dikuasai Belanda
hikayat prang sabi dibaca dengan sembunyi-sembunyi karena takut ditangkap pihak
Pemerintah Kolonial Belanda
sangat bagus untuk dibaca
BalasHapusal quran online
Terima kasih, baca juga artikel lainnya
BalasHapus