Kamis, 11 Juli 2019

Kisah Hikayat Prang sabi




                              "Kisah hikayat prang sabi"





         Masjid baiturrahman, saksi bisu perjuangan rakyat Aceh dalam pertempuran melawan Belanda
                                  







Pada awal tahun 1902 kira-kira terdapat dua atau tiga ribu pejuang Aceh yang masih berada di Pidie. pidie merupakan salah satu basis perlawanan Rakyat Aceh selain, Aceh utara, kutaradja, lambaro,dsb.








pada Tahun 1902, perang Aceh telah berjalan hampir 30 Tahun lamanya, Dan pidie masih merupakan salah satu basis perlawanan Rakyat Aceh.





antara tahun 1902-1905, kira-kira 4.000 orang Aceh yang tewas, tetapi masih ada 2.000 orang pejuang Aceh yang selalu siap dalam perang sabil.


 





Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh terakhir yang berdaulat. Ia memimpin Kerajaan Aceh Darussalam saat perang berkecamuk. Sebagian besar usianya habis dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh. Meski tubuhnya ditawan, ia tak pernah mau melepaskan tanah airnya ke penjajah.








Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan putra Tuanku Cut Zainal Abidin. Ia cucu dari Sultan Alaidin Mansur Syah (1857–1870), raja ke-33 yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.











Meskipun Sultan Aceh sudah menyerah (1903), yakni Sultan Terakhir Aceh, Muhammad Daudsyah ulama

 



Aceh Teungku Cot Plineng di Pidie terus menyerukan agar orang-orang Aceh tetap gigih berjuang melawan kafir. perang tersebut disebut juga sebagai Jihad Fi Sabilillah, atau perang sabil.







pihak Belanda menyebutnya sebagai perang Aceh Salah seorang pemimpin yang berjuang di pidie adalah yang sangat berpengaruh adalah Teuku Ben Peukan, putra uleebalang Meureudu bersama Nyak Muda ikut berjuang di Pidie.







Pada bulan pasukan tentara yang dipimpin oleh Nyak Muda diserang oleh pasukan Belanda





dan menewaskan 17 orang. Kejadian tersebut terjadi pada bulan September 1903,






dengan dipimpin oleh Teuku Ben Peukan bersama Nyak Muda, Teuku Ma’ Udin Meureudu, Teuku Ubit Samalanga dan Pang Seneh berhasil menyerang pasukan Belanda di hulu Meureudu yang menewaskan empat orang dari  pasukan Belanda.







 

pada bulan Desember 1903, terjadi peristiwa pasukan Belanda mengadakan serangan balik ke pidie dan menewaskan 18 orang pejuang Aceh di antaranya Panglima Meureudu Pakeh.







serangan belanda tersebut membawa dampak yang besar hingga Kemudian 200 orang pejuang Aceh di pidie terpaksa menyerah , diantaranya







termasuk sebagian uleebalang seperti Teuku Ben Peukan bersama tujuh orang panglimanya serta 45 orang pengikutnya  Teuku Muda Lhon yang merupakan kemenakan Panglima Polem menyerah 6 Maret 1904 bersama 20 orang pengikutnya di pidie.








Sedangkan Teuku Rayek, seorang pembesar di pidie , putra uleebalang Teungoe, Pidie yang memihak muslimin ditembak mati oleh Belanda pada 8 Juni 1904,







kemudian tokoh lainnya, Pang Andah, yang merupakan tangan kanan Teuku Ali Baid tewas bersama Nyak Muda Daud pada 3 Juli 1904, dan Nyak Muda tewas bersama Pang Saneh pada 30 April 1904, setelah melakukan penyerangan kereta api, pembakaran rumah, menghancurkan jaringan telepon dan sebagainya.









Pada bulan Oktober 1904, Habib Cut dari Ie Leubeue menyerah disusul kemudian dengan Teuku Keujruen Bugis dari Beunga pada bulan November 1904. Sementara itu Teungku Cot Plieng pada tanggal 2 Juli 1905 tewas ditembak pasukan Letnan Terwogt di Hulu Krueng Tiro.


 


Sebulan kemudian (14 Agustus 1905), Teungku Di Alue Keutapang tewas terkena peluru Letnan Velsing di huluKrueng (sungai) Meureudu.







Teungku Cot Cicem terus melakukan perlawanan bersama 400 laskarnya menghancurkan pasukan Belanda. Pasukan Cot Cicem merupakan salah satu pasukan yang mengikuti teknologi perang pasukan Belanda, yaitu berbaris dengan rapi, menggunakan aba-aba terompet dan sebagainya sehingga tidak berbeda dengan pasukan Belanda.





Ulama ini akhirnya gugur bersama 11 orang laskarnya dalam satu pertempuran di hulu Sungai Krueng Baro pada 29 Maret 1906.






Perjuangannya dilanjutkan oleh Teungku Leman dengan menyerang pos Belanda (20 Juni 1907) di Keumala, namun pada 15 April 1908, Teungku Leman gugur bersama 33 orang pengikutnya di Gle Krueng Reubah.







Selama tahun 1908, pihak Aceh banyak mendapat tekanan berat, pasukan Belanda berhasil menewaskan 269 orang Aceh, di antaranya 17 orang Pang (Panglima),  Teungku seperti Teungku Hasan Teiteu atau Teungku Pante Kulu.







Akan tetapi pengejaran terhadap laskar Aceh terus dilakukan, bahkan Letnan H.J. Schmidt mendapat tugas khusus untuk mengejar ulama-ulama Tiro.







tokoh lainnya adalah Ulama dari pidie yakni Teungku Di Bukit atau Tengku Beb, putra Teungku Chik Di Tiro







Muhammad Saman, ia gugur dalam  pertempuran pada tanggal 5 September 1910 di hulu Alue Simie. pada tanggal 29 September 1911 Habib Teupin Wan gugur,ia merupakan seorang Ulama berpengaruh di pidie dalam perang Aceh  di Pidie







disusul kemudian 2 Desember 1911, Teungku Chik Maat gugur dalam pertempuran dekat Tangse. Selanjutnya bulan Desember 1912 bengkel senjata milik Chik Di Tiro di Beunga dapat dirampas oleh pasukan Belanda.

 




satu persatu Ulama yang memimpin perlawanan di pidie  Dengan demikian perlawanan terbuka di Pidie berakhir.










Teungku chik pante kulu








Teungku Chik Haji Muhammad Pante Kulu atau lebih dikenal dengan Teungku Chik Pante Kulu lahir pada tahun 1836 di desa Pante Kulu pemukiman Titeue, kecamatan Kemalawati, Pidie. 






Teungku Chik Pante Kulu juga masih ada hubungan kerabat dengan kelompok ulama di Tiro.







Sejak kecil Teungku Chik Pante Kulu sudah mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan di dayah di Tiro pimpinan Teungku Chik Muhammad Amin Dayah Cut.

 





Setelah mendapat gelar Teungku Di Rangkang dan mahir berbahasa Arab kemudian melanjutkan studi ke Mekkah sambil menunaikan ibadah haji.








Di Mekkah selain mempelajari ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya seperti logika, filsafat dan sastra, Teungku Chik Pante Kulu juga menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin gerakan Wahabi.






Gerakan Wahabi yang dipimpin oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahab sebagai gerakan kebangkitan Islam telah mempengaruhi jiwa Teungku Chik Pante Kulu.






Teungku Chik Pante Kulu memiliki jiwa seni sehingga senang membaca buku-buku syair Arab khususnya tentang perang di zaman Rasul, seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Malik, Ka’ab bin Zubair.



 

Selain itu juga senang mempelajari sejarah pahlawan-pahlawan Islam, seperti Khalid bin Walid, Umar bin Kattab, Hamzah, Usamah bin Zaid, dan Thariq bin Ziyad.









Setelah empat tahun di Mekkah, Teungku Chik Pante Kulu pulang ke Aceh untuk membantu laskar Aceh melawan Belanda. 



Ketika sampai di Aceh langsung mendapat tugas dari gurunya, Teungku Chik Muhammad Amin Dayah Cut untuk menyusul Teungku Cik Di Tiro berjuang di Aceh Besar.






Dengan bakat seni dan sastra yang dimiliki khususnya kesusastraan Aceh, Teungku Chik Pante Kulu tidak hanya pandai dalam mengarang sajak-sajak tetapi juga pandai membaca sajak tersebut dengan suara merdu.






Mengenai hal ini dalam perjalanan pulang ke Aceh Teungku Chik Pante Kulu telah meciptakan sebuah karya sastra Aceh yang sangat terkenal, yaitu “Hikayat Prang Sabi” atau hikayat perang sabil





Pengaruh hikayat prang sabi terhadap mentalitas para pejuang sangat besar. Setiap orang yang membaca dan mendengar hikayat prang sabi maka




dengan suka rela menjadi laskar muslimin apalagi bila dibaca langsung oleh Teungku Chik Pante Kulu dengan suaranya yang merdu.



Masyarakat Aceh membaca hikayat prang sabi di dayah-dayah atau pesantren, meunasah-meunasah dan di rumah-rumah atau di tempat lainnya






sebelum pergi berperang melawan Belanda. Di daerah-daerah yang telah dikuasai Belanda hikayat prang sabi dibaca dengan sembunyi-sembunyi karena takut ditangkap pihak Pemerintah Kolonial Belanda






2 komentar: