Gubenur Jenderal VOC ke enam, J.P Coen
menyampaikan surat tersebut kepada para direktur VOC.
Sebagai seorang pendiri
Kota Batavia koloni Kerajaan Belanda di Timur.
Coen
mendesak terpenuhinya persyaratan kebutuhan dasar bagi warga kota yang beradab.
Dia dengan gemas melarang keras pergundikan, perzinahan, dan pelacuran. Kota
yang beradab, demikian hemat Coen, harus dimulai dari warga yang beradab.
Sedikitnya
jumlah warga perempuan di Batavia disebabkan VOC memberikan aturan ketat dalam
menerima pemukim baru.
Namun, selepas Coen, pada periode 1632-1669, maskapai
dagang itu menghentikan migrasi perempuan ke Hindia Timur.
Dengan
jumlah warga lelaki yang jauh melebihi warga perempuannya, Batavia mengalami
krisis sosial yang tak terelakkan: pelacuran yang merajalela.
Peraturan
Sang Gubernur Jenderal pun kandas dalam penegakan hukumnya.
Hendrik
E Niemeijer, sejarawan asal Belanda yang telah mengarungi samudra arsip VOC di
Indonesia, mengungkapkan soal pelacuran di Batavia zaman VOC dalam Batavia: een
koloniale samenleving in de zeventiende eeuw yang terbit pada 2005.
Dua
tahun silam, buku tersebut telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia Batavia:
Masyarakat Kolonial Abad XVII.
Adriana
Augustijn, perempuan mardijker atau budak yang telah dimerdekakan, tercatat
sebagai salah satu pelacur di Batavia yang terjerat kasus hukum.
Demikian
berkas yang merekam risalah pernyataan Adriana tertanggal 29 Agustus 1689.
Kini, berkas lawas itu berada di ruang penyimpanan Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI).
Koleksi
lembaga tersebut tentang arsip pemerintahan tertinggi selama 1602-1811 kalau
direndeng bisa mencapai sekitar 450 meter!
Orang-orang
mardijker memang dikenal urakan di Batavia. Adriana, perempuan berkulit gelap,
dilaporkan oleh para tetangganya sebagai perempuan yang bekerja dengan
memanfaatkan tubuhnya. Lelaki yang mengencaninya beragam, dari budak hingga
orang bebas. Tempat tinggalnya pun berpindah-pindah.
Di
Batavia abad ke-17, pilihan menjadi pelacur atau gundik tampaknya lebih
menjanjikan bagi para budak perempuan ketimbang harus menjadi budak rumahan
yang kerap jadi sasaran sumpah serapah sang nyonya majikan.
Berbeda
dengan Adriana yang merupakan pelacur jalanan, Lysbeth Jansz bekerja menjual
tubuhnya sebagai pelacur di losmen merah di luar tembok kota.
Lysbeth
merupakan perempuan asal Rotterdam dan sudah kerap didera hukuman, bahkan
pernah dibuang di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Namun, Batavia tetap menjadi
daya tarik baginya untuk kembali.
Losmen-losmen
lampu merah itu awalnya di dalam tembok kota, sekitar Kastel Batavia. Setiap
saat, serdadu-serdadu VOC dapat berkencan dengan perempuan pilihan mereka,
tanpa harus membawa masuk ke dalam barak. Dalam perkembangannya, losmen itu pun
tumbuh di luar tembok kota.
Akta
risalah pernyataan tertanggal 8 dan 11 September 1682, yang kini tersimpan di
ANRI, juga menunjukkan salah satu losmen merah yang sohor di Batavia. Losmen
itu menawarkan keliaran yang bertajuk "De Berebijt"artinya gigitan
beruang.
Lokasinya
di Jacatraweg, kini Jalan Pangeran Jayakarta, sebelah selatan tembok kota.
Dari
arsip zaman VOC itu, Niemeijer mengungkapkan bahwa "De Berebijt"
merupakan salah satu rumah bordil yang kerap rusuh karena menjadi ajang duel.
Sejumlah losmen merah lainnya yang dimiliki mucikari Eropa dan Asia membuka
praktik di sekitar Niewpoort, kini sekitar Jalan Pintu Besar Selatan.
Tidak
hanya pelacuran, tetapi juga pemerasan seksual telah terjadi di Batavia. Pada
1644, sebanyak lebih dari dua lusin warga Batavia terbukti menjadi germo.
Mereka
mendandani para budak perempuan mereka bagai noni-noni terhormat dan memaksa
para budak itu untuk melacurkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar