Kamis, 01 Desember 2016

Pelacuran di Jakarta tempo dulu



       
  Gubenur Jenderal VOC ke enam, J.P Coen menyampaikan surat tersebut kepada para direktur VOC. 



Sebagai seorang pendiri Kota Batavia koloni Kerajaan Belanda di Timur.


Coen mendesak terpenuhinya persyaratan kebutuhan dasar bagi warga kota yang beradab. 



Dia dengan gemas melarang keras pergundikan, perzinahan, dan pelacuran. Kota yang beradab, demikian hemat Coen, harus dimulai dari warga yang beradab.


Sedikitnya jumlah warga perempuan di Batavia disebabkan VOC memberikan aturan ketat dalam menerima pemukim baru. 



Namun, selepas Coen, pada periode 1632-1669, maskapai dagang itu menghentikan migrasi perempuan ke Hindia Timur.



Dengan jumlah warga lelaki yang jauh melebihi warga perempuannya, Batavia mengalami krisis sosial yang tak terelakkan: pelacuran yang merajalela.



Peraturan Sang Gubernur Jenderal pun kandas dalam penegakan hukumnya.



Hendrik E Niemeijer, sejarawan asal Belanda yang telah mengarungi samudra arsip VOC di Indonesia, mengungkapkan soal pelacuran di Batavia zaman VOC dalam Batavia: een koloniale samenleving in de zeventiende eeuw yang terbit pada 2005.


Dua tahun silam, buku tersebut telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII.


Adriana Augustijn, perempuan mardijker atau budak yang telah dimerdekakan, tercatat sebagai salah satu pelacur di Batavia yang terjerat kasus hukum.



Demikian berkas yang merekam risalah pernyataan Adriana tertanggal 29 Agustus 1689. 



Kini, berkas lawas itu berada di ruang penyimpanan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).


Koleksi lembaga tersebut tentang arsip pemerintahan tertinggi selama 1602-1811 kalau direndeng bisa mencapai sekitar 450 meter!


Orang-orang mardijker memang dikenal urakan di Batavia. Adriana, perempuan berkulit gelap, dilaporkan oleh para tetangganya sebagai perempuan yang bekerja dengan memanfaatkan tubuhnya. Lelaki yang mengencaninya beragam, dari budak hingga orang bebas. Tempat tinggalnya pun berpindah-pindah.


Di Batavia abad ke-17, pilihan menjadi pelacur atau gundik tampaknya lebih menjanjikan bagi para budak perempuan ketimbang harus menjadi budak rumahan yang kerap jadi sasaran sumpah serapah sang nyonya majikan.


Berbeda dengan Adriana yang merupakan pelacur jalanan, Lysbeth Jansz bekerja menjual tubuhnya sebagai pelacur di losmen merah di luar tembok kota.




Lysbeth merupakan perempuan asal Rotterdam dan sudah kerap didera hukuman, bahkan pernah dibuang di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Namun, Batavia tetap menjadi daya tarik baginya untuk kembali.


Losmen-losmen lampu merah itu awalnya di dalam tembok kota, sekitar Kastel Batavia. Setiap saat, serdadu-serdadu VOC dapat berkencan dengan perempuan pilihan mereka, tanpa harus membawa masuk ke dalam barak. Dalam perkembangannya, losmen itu pun tumbuh di luar tembok kota.


Akta risalah pernyataan tertanggal 8 dan 11 September 1682, yang kini tersimpan di ANRI, juga menunjukkan salah satu losmen merah yang sohor di Batavia. Losmen itu menawarkan keliaran yang bertajuk "De Berebijt"artinya gigitan beruang.




Lokasinya di Jacatraweg, kini Jalan Pangeran Jayakarta, sebelah selatan tembok kota.



Dari arsip zaman VOC itu, Niemeijer mengungkapkan bahwa "De Berebijt" merupakan salah satu rumah bordil yang kerap rusuh karena menjadi ajang duel. 



Sejumlah losmen merah lainnya yang dimiliki mucikari Eropa dan Asia membuka praktik di sekitar Niewpoort, kini sekitar Jalan Pintu Besar Selatan. 


Tidak hanya pelacuran, tetapi juga pemerasan seksual telah terjadi di Batavia. Pada 1644, sebanyak lebih dari dua lusin warga Batavia terbukti menjadi germo.



Mereka mendandani para budak perempuan mereka bagai noni-noni terhormat dan memaksa para budak itu untuk melacurkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar