Kamis, 01 Desember 2016

Jakarta tempo dulu "kota Budak"

                    



                   Jakarta tempo dulu, kotanya para Budak






































Jakarta tempo dulu selain disebut sebagai "Ratu dari Timur" karena keindahan bangunan dan kanal-kanalnya, jakarta pada masa lalu juga menyimpan kisah penderitaan bagi orang-orang pribumi. Khususnya bagi kaum pribumi budak.







Pada kurun waktu abad 16-19, perbudakan adalah hal yang legal dibelahan dunia manapun.





Diseluruh dunia seperti Di rusia, tsar rusia melegalkan perbudakan di rusia. Dimana tsar alexis I melegalkan perbudakan di rusia.







Di dalam kesultanan islam juga terdapat budak-budak yang dibeli untuk dan dipersiapkan untuk menjadi tentara kesultanan.





Hal yang sama juga berlaku di jakarta pada masa lalu, atau kota yang bernama batavia. Dimana perbudakan adalah hal yang dilegalkan.







batavia pada kurun waktu abad 17-18 juga disebut sebagai kota Budak. bagaimana tidak dari keseluruhan jumlah penduduk kota yang paling banyak adalah komunitas Budak yang menurut data tahun 1673,  Jumlahnya mencapai 13.000 orang.







menurut data tahun 1673 yang dikeluarkan oleh pemerintah kompeni belanda (VOC) bahwa jumlah budak mencapai 13.000 orang.




Jumlah tersebut sangat banyak, lebih banyak dari pada jumlah orang belanda dan eropa, masyarakat cina, orang-orang mardjiker atau suku-suku pendatang dari nusantara.






menurut data dan statistik tahun 1673, jumlah orang eropa hanya 2000 orang, jumlah orang cina sekitar 2700 orang. Sedangkan jumlah budak di batavia mencapai 13.000 orang.







jumlah budak di batavia tahun 1673 berkali-kali lipat dari jumlah orang-orang eropa,  belanda sekalipun.







Zaman itu perbudakan adalah hal yang legal dibelahan dunia manapun. VOC atau kongsi dagang milik belanda pada awalnya banyak membeli budak dari India selatan, dimana VOC mempunyai koneksi disana.









Para budak itu diangkut dengan kapal ke Batavia atau jakarta dan diperjual belikan disana.





Tetapi ketika pada masa  abad 18, VOC lebih banyak melakukan pembelian budak di wilayah nusantara, seperti dari bugis atau bali. Lambat laun penjualan budak semakin lama semakin banyak dan batavia menjadi kota budak.









Pada kurun waktu abad 17, belanda banyak membeli budak dari wilayah india selatan dimana pihak belanda (VOC) punya koneksi disana.





Hingga sekitar 1 abad setelahnya, belanda malah membeli budak dari daerah nusantara sendiri.











Susan Blackburn dalam bukunya "Jakarta 400 tahun " Menyebutkan Jumlah budak terbanyak bila dibanding dengan jumlah orang eropa, Cina , mardjiker atau orang pribumi sekalipun.





Jumlah orang eropa mencapai 2000 orang. Jumlah orang cina sekitar 2700 orang tahun 1673.









 Mardjiker 6000 orang dan yang paling banyak adalah jumlah budak yang mencapai 13000 orang.





 jumlah budak 6 kali lipat dari jumlah orang Eropa dan dua kali lipat dari orang mardjiker.






Ternyata di batavia jumlah budak  adalah komunitas terbanyak dengan persentasi mencapai 48 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk di batavia.







Jadi menurut data Tahun 1637 yang dikeluarkan oleh pemerintah kompeni, pada Tahun 1673 itu, komunitas budak di batavia mencapai 13.000 orang atau lebih 48 persen penghuni kota batavia adalah Budak !!!







dibatavia atau jakarta pada masa dulu, para budak diperkerjakan bermacam-macam. Ada yang menjadi pelayan, juru masak, tukang cuci, penyedia dan penjaga gudang anggur.




Bahkan ada juga yang diperkerjakan sebagai untuk keperluan bisnis seperti menjadi buruh-buruh kasar di pabrik.






bagi orang eropa, mempunyai banyak budak menunjukan status sosial mereka. Sebuah keluarga eropa terkaya di batavia bisa mempunyai budak lebih dari 100 orang.






Orang eropa terkaya di batavia kebanyakan memperkerjakan para budaknya untuk menangani urusan rumah seperti menjadi tukang cuci, juru masak, pelayan, dsb.






bahkan pada masa itu terdapat semacam pamflet atau selebaran yang ditempelkan atau digantung di bangunan-bangunan yang berisi iklan penjualan budak.





Hingga pada akhirnya,  Jumlah budak semakin berkurang pada abad 19 atau tahun 1800 an.






Karena ketika inggris dibawah Thomas Stamford Raffles berkuasa atas wilayah-wilayah di nusantara , dilakukan pelarangan jual beli budak hingga jumlah budak semakin berkurang.







meskipun thomas stamford raffles, sang gubernur jenderal inggris juga  mempunyai budak, Walaupun ia sendiri melarang pembelian budak.





Kemudian pada akhir abad 19 muncul gerakan dan paham Humanisme sehingga banyak orang-orang belanda secara sukarela membebaskan budaknya sendiri.






Hingga ada surat kabar dibatavia yang memberikan sanjungan pada orang-orang eropa tertentu yang membebaskan budaknya sendiri.






Jadi selain menyandang Sebagai Ratu dari Timur karena keindahan kotanya, Pantaskah Jakarta tempo dulu dipandang sebagai Kota Budak ?



























Sumber  :



Jakarta 400 tahun, karya susan blackburn

Kehidupan sosial di batavia karya  gelman taylor






Tidak ada komentar:

Posting Komentar