Rabu, 07 Desember 2016

Bupati dan Tumenggung tempo dulu para antek Belanda




    Bupati dan tumenggung tempo dulu adalah antek belanda















Selain orang cina dan melayu, masyarakat pribumi pun ada yang menjadi bagian dari kompeni belanda.





contoh kecil, pada zaman kompeni dahulu terdapat citra gladak, kapten jawa bawahan kompeni.








Pada kurun waktu 1650-1670 terdapat masyarakat jawa yang tinggal di luar tembok kota, jumlah mereka semakin lama-semakun banyak seiring berjalan waktu.





Pada umumnya mereka tinggal di timur kota batavia/jakarta. Sehingga keberadaan mereka memusingkan pihak kompeni.







sehingga pihak kompeni belanda memberikan izin dengan mengangkat kepala lingkungan untuk mengatur dan   menugaskan agar data penduduk yang tinggal di sana agar diberikan secara berkala kepada pihak kompeni.





Keberadaan masyarakat jawa di luar tembok kota batavia yang semakin banyak bukan tanpa sebab, tetapi atas izin dari beberapa bupati, seperti bupati jepara.





pihak voc kompeni juga mempersenjatai mereka dan mengangkat pemimpinnya dengan pangkat sersan dan kapten.









Ketika gubernur jenderal herman willem daendles berkuasa, pemerintahan beralih ke tangan belanda-prancis. Pulau jawa dijadikan salah satu bagian dari kekuasaan napoleon bonaparte.





Saat daendles berkuasa, penguasa lokal seperti bupati, masih diberikan izin. Meskipun bupati pribumi masih berada di bawah pemerintahan belanda.




Daendles sebagai penguasa atau gubernur jenderal mengusahakan pembangunan jalan raya anyer-panarukan melalui kerja rodi tenaga rakyat.




Tetapi daendles tidak perlu turun tangan secara langsung, ia hanya perlu memerintahkan para bupati pribumi bawahannya agar membangun jalan tersebut melalui kerja paksa.




hal tersebut dapat terlihat melalui pertemuan daendles di semarang tahun 1808, dimana daendles memerintahkan 38 bupati pribumi bawahannya agar membangun jalan dari cirebon-surabaya.




jadi penguasa belanda cukup memberikan perintah pada penguasa lokal seperti bupati agar mengurusi apa yang diperlukan oleh belanda.







Sejak pemerintahan dan penjajahan kongsi dagang belanda terhadap masyarakat pribumi di nusantara. Pihak Belanda tidak hanya melakukan penjajahan secara frontal melalui militeristik dan perang.







Politik devide et impera juga dicanangkan oleh pihak belanda terhadap masyarakat pribumi serta kerajaan-kerajaan hindu Budha dan islam.







Politik pecah belah atau yang disebut dengan Devide de et impera menjadi metode ampuh dalam untuk mencengkram masyarakat pribumi.







Hal itu dapat dilihat dari bagaimana pihak VOC memberikan bantuan pada sultan haji untuk berperang dengan Sultan Ageng Tirtayasa di banten, atau campur tangan Pihak VOC di dalam kesultanan-kesultanan islam seperti Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.







Tidak hanya sampai di situ pihak belanda juga memecah belah kelas sosial, yakni elite pribumi dan Rakyat Jelata.





Sehingga salah satu faktor yang membuat kenapa orang-orang pribumi dijajah sekian lamanya oleh bangsa Belanda.







Misalnya ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles (1808-1811) berkuasa. Pada saat itu para elite pribumi seperti bupati dijadikan bawahan dan masuk struktur pemerintahan belanda.






Bila orang-orang belanda ingin mengekploitasi Rakyat, orang-orang belanda cukup memerintah para Bupati atau Tumenggung.







Hal itu dapat dilihat ketika Herman willem Daendles memerintahkan 38 Bupati di semarang agar membangun jalan dari Anyer hingga panarukan.


Daendles sebagai gubernur jenderal tidak usah bersusah payah mengumpukan rakyat agar berkerja rodi membangun fasilitas yang dibutuhkan oleh belanda.


Para petinggi belanda menjadikan elite pribumi sebagai "mediasi" untuk mengekploitasi rakyat.





Jadi para bupati itulah yang berkerja untuk memenuhi perintah dari atasannya, yakni orang belanda.







Jadi bagi Rakyat jelata, posisi bupati amat ditakuti oleh rakyat, padahal mereka hanyalah bawahannya bangsa belanda.







Hal serupa juga berlaku ketika era Culturstelsel, atau zaman tanam paksa. era tanam paksa yang dimulai tahun 1830 pun memiliki ciri khas yang sama dengan zaman daendles berkuasa.







Pada era tanam paksa, posisi elite pribumi adalah bawahan belanda, para bupati pribumi masuk struktur pemerintahan Belanda dan menjadi mediasi yang digunakan oleh orang-orang belanda untuk mengekploitasi Rakyat.





Hal-hal yang berkaitan dengan tanam paksa diurusi oleh para bupati pribumi






Para bupati pribumi itu layaknya "mandor" yang mengawasi Culturstelsel atau sistem tanam paksa tersebut.





Pihak belanda cukup memberikan perintah, selanjutnya pejabat lokal yang mengurusi jalannya culturstelsel.







Bila para bupati bisa mengemban tugas dari belanda mereka akan diberikan bagian berupa culturprocenten.




Culturprocenten adalah bagian persentasi dari keuntungan tanam paksa atau Culturstelsel tersebut.











Jadi bisa dikatakan selain memecah belah struktur pemerintahan dalam kesultanan dan kerajaan islam di nusantara. Pihak belanda juga merusak struktur kelas sosial antara para Elite pribumi dan rakyat jelata.



Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa penjajahan Bangsa Belanda bisa terjadi sekian lamanya, bahkan mencapai tempo waktu berabad-abad.





jadi berdasarkan kisah diatas, sebagian orang cina, pribumi dan melayu pun pernah menjadi bagian dari pemerintahan penjajah belanda atau "antek belanda". Tidak heran Satu hal yang membuat penjajahan belanda di nusantara berlangsung hingga berabad lamanya.







Sejak pemerintahan dan penjajahan kongsi dagang belanda terhadap masyarakat pribumi di nusantara. Pihak Belanda tidak hanya melakukan penjajahan secara frontal melalui militeristik dan perang.







Politik devide et impera juga dicanangkan oleh pihak belanda terhadap masyarakat pribumi serta kerajaan-kerajaan hindu Budha dan islam.









Politik pecah belah atau yang disebut dengan Devide de et impera menjadi metode ampuh dalam untuk mencengkram masyarakat pribumi.







Hal itu dapat dilihat dari bagaimana pihak VOC memberikan bantuan pada sultan haji untuk berperang dengan Sultan Ageng Tirtayasa di banten, atau campur tangan Pihak VOC di dalam kesultanan-kesultanan islam seperti Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.









Tidak hanya sampai di situ pihak belanda juga memecah belah kelas sosial, yakni elite pribumi dan Rakyat Jelata. Sehingga salah satu faktor yang membuat kenapa orang-orang pribumi dijajah sekian lamanya oleh bangsa Belanda.







Misalnya ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles (1808-1811) berkuasa. Pada saat itu para elite pribumi seperti bupati dijadikan bawahan dan masuk struktur pemerintahan belanda.







 Bila orang-orang belanda ingin mengekploitasi Rakyat, orang-orang belanda cukup memerintah para Bupati atau Tumenggung.







Hal itu dapat dilihat ketika Herman willem Daendles memerintahkan 38 Bupati di semarang agar membangun jalan dari Anyer hingga panarukan.







Jadi para bupati itulah yang berkerja untuk memenuhi perintah dari atasannya, yakni orang belanda.





Jadi bagi Rakyat jelata, posisi bupati amat ditakuti oleh rakyat, padahal mereka hanyalah bawahannya bangsa belanda.







Hal serupa juga berlaku ketika era Culturstelsel, atau zaman tanam paksa. era tanam paksa yang dimulai tahun 1830 pun memiliki ciri khas yang sama dengan zaman daendles berkuasa.







Pada era tanam paksa, posisi elite pribumi adalah bawahan belanda, para bupati masuk struktur pemerintahan Belanda dan menjadi mediasi yang digunakan oleh orang-orang belanda untuk mengekploitasi Rakyat.







Hal-hal yang berkaitan dengan tanam paksa diurusi oleh para bupati. Para bupati itu layaknya "mandor" yang mengawasi Culturstelsel atau sistem tanam paksa.







Bila para bupati bisa mengemban tugas dari belanda mereka akan diberikan bagian berupa culturprocenten. Culturprocenten adalah bagian persentasi dari keuntungan tanam paksa atau Culturstelsel tersebut.






pada era kolonial Belanda, di aceh menurut keterangan snouck Hungronje menceritakan jika para Hulubalang dan bangsawan aceh juga sebagian pro kepada Belanda, bahkan menjadi bawahan bagi pemerintah kolonial Belanda.




 hal tersebut bukan hanya terjadi di Pulau Jawa saja, tetapi juga terjadi di berbagai wilayah di nusantara lainnya.







ketika terjadi perang aceh, yakni rakyat aceh dengan Belanda, para ulama lebih menjadi ancaman bagi Belanda, karena para bangsawan aceh dan hulubalang sebagian pro kepada kolonial Belanda.













semangat perang jihad dikobarkan oleh para ulama di banyak wilayah, hingga terjadi perang selama berpuluh tahun lamana antara rakyat Aceh dengan belanda.








Jadi bisa dikatakan selain memecah belah struktur pemerintahan dalam kesultanan dan kerahaan islam di nusantara.







Pihak belanda juga merusak struktur kelas sosial antara para Elite pribumi dan rakyat jelata. Hal inilah salah satu faktor mengapa penjajahan Bangsa Belanda bisa terjadi sekian lamanya.















Diambil dari :







sejarah indonesia -





sejarah indonesia -- H. M . vlackke





kehidupan sosial di Batavia - gelman Taylor





Batavia 400 Tahun - susan blacburn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar