Senin, 07 Agustus 2017

Alasan jumlah kaum wanita Eropa di batavia selalu lebih sedikit





Alasan Jumlah kaum wanita eropa di batavia sangat sedikit






















Batavia atau jakarta tempo dulu, merupakan kota yang berjuluk "ratu dari timur" (queen of the east).






Seperti apa yang dikatakan oleh banyak sejarahwan seperti Alwi Shahab dalam karya-karyanya.






Berbagai macam bangsa, suku, ras atau bahkan etnis pernah menjadi bagian dari masyarakat jakarta pada masa lampau.






Jumlah penduduk batavia pada masa lampau adalah orang-orang belanda, masyarakat eropa, masyarakat cina tionghoa, kaum mardjiker atau yang disebut dengan orang portugis hitam serta orang-orang dari berbagai suku di nusantara.















Keberagaman serta heterogonitas menjadi ciri khas jakarta sejak masa lampau.










Menurut data dan statistik kependudukan di batavia yang dikeluarkan oleh pemerintahan VOC belanda, jumlah penduduk batavia tahun 1673 adalah sekitar 275.000 orang.




 Dari jumlah penduduk Yang terdiri dari berbagai etnis,suku bangsa serta ras tumpah ruah dalam masyarakat kota batavia.





tetapi dari keseluruhan jumlah penduduk, jumlah kaum wanita eropa di kota batavia selalu lebih sedikit dibandingkan dengan kaum wanita dari kalangan tionghoa atau kaum wanita dari kalangan lainnya. Apa alasannya ?










Kita bisa mengatahui hal tersebut melalui fakta sejarah pada masa lampau.







disebutkan dalam beberapa sumber, seperti buku kehidupan sosial di batavia karya Gelman Taylor,




bahwa pada masa itu tidak seperti zaman sekarang, perjalanan laut dari eropa menuju batavia merupakan perjalanan yang berbahaya.








setidaknya butuh waktu kurang lebih 6 bulan agar orang-orang eropa dapat menjejakan kakinya di kota batavia.








hal tersebut menjadi hal yang sangat sulit, karena pembukaan terusan suez belum dilakukan.






Sehingga perjalanan kapal dari eropa menuju batavia harus melewati perairan di sepanjang benua afrika serta butuh hari beratus-ratus hari.






 perjalanan kapal pada masa lalu merupakan perjalanan yang berbahaya. Belom lagi ancaman perompak, bajak laut, badai, atau kesalahan navigasi yang berakibat fatal bagi pelayaran.





seperti kisah-kisah dari seorang ahli bedah belanda yang bernama de graff, perjalanan kapal penuh resiko.









 bahkan de graff menuturkan ketika ia pergi ke batavia dari eropa dengan menumpang sebuah kapal, hampir sepertiga jumlah penumpang kapal tersebut tewas diatas kapal. .















Sehingga saat itu orang-orang belanda dan  eropa yang pergi ke batavia atau bertugas tidak membawa istri serta anak. Membawa anak dan istri adalah resiko yang berbahaya.































































Kisah de graaf, ahli bedah Dari belanda





De graff, seorang ahli bedah, ia pernah mengunjungi batavia dari eropa dan banyak menuliskan catatan perjalanannya tentang banyaknya kematian dari orang-orang belanda dan eropa.







seorang ahli bedah yang bernama de graaf pernah mengunjungi Batavia dari belanda. ia bersama dengan kurang lebih 300 orang berangkat dengan menggunakan kapal besar ke batavia.































terusan Suez belum Ada Dan dibuka























pada masa itu belum ada terusan suez sehingga perjalanan kapal laut membutuhkan waktu sedikitnya 6 bulan berada diatas kapal laut.















Saat itu perjalanan kapal harus melewati perairan afrika. Mulai perairan afrika barat, perairan afrika selatan hingga tanjung harapan dan melewati perairan afrika timur lalu menuju ke india.















tampaknya rute laut tersebut telah lama digunakan oleh orang-orang eropa untuk sampai ke india. Penemuan jalur laut itu terjadi sekitar abad ke akhit abad ke 15 oleh vasco da gama.











terusan Suez baru dibuka pada sekitar akhir Abad ke 19 atas upaya dari Ferdinand de leppez. sehingga pelayaran dari Eropa menuju ke "Dunia timur" masih penuh kesukaran.



















Lebih lanjut menurut de graff, Dalam perjalanan laut tersebut, penumpang kapal terserang wabah penyakit. Hingga terjadi korban tewas diatas kapal. Dari 300 penumpang diatas kapal, korban tewas hingga mencapai 85 orang.















belum lagi sebagian penumpang diatas kapal mengalami kegilaan atau ganguan jiwa.











 Hal tersebut karena lamanya perjalanan kapal yang membutuhkan waktu menyebabkan beberapa penumpang kehilangan kewarasannya.






sebagian penumpang yang gila tersebut harus diikat di tempat tidur. Tujuannya adalah untuk tidak menganggu penumpang lainnya yang masih waras.







Ketika kapal telah sampai dibatavia,  tidak jarang dari penumpang kapal tersebut yang tewas setelah berhari-hari berada di batavia.








Jadi perjalanan penuh bahaya, tantangan itulah yang membuat orang-orang belanda enggan untuk mengajak istri mereka dalam perjalanan ke Batavia.





Banyak dari kalangan belanda dan eropa yang pergi ke batavia tanpa membawa istri. Hal tersebut berpengaruh pada jumlah kaum wanita eropa di batavia termasuk kaum wanita Belanda di batavia.

  


seperti yang dikatakan dalam buku "sejarah jakarta 400 tahun"  karya susan Blackburn.



jarang bila ada orang-orang belanda atau eropa yang pergi ke batavia membawa anak serta istri.




menurut beberapa sumber hal inilah yang membuat adanya kaum pria eropa menikah dengan wanita pribumi, atau maraknya pelacuran di jakarta pada masa lampau diantara oramg-orang eropa karena faktor ini.





Lokalisasi tempat pelacuran di batavia sudah muncul sejak lama di kota yang berjuluk "Ratu dari timur" tersebut.





Menurut data dan statistik kependudukan batavia, jumlah orang-orang belanda dan eropa sedikit di kota tersebut, apalagi jumlah kaum wanitanya lebih sedikit lagi.



































Sumber Diambil dari. :



















Gelman Taylor, kehidupan sosial di Batavia



Betawi, queen of the east, alwi shahab.



Susan Blackburn, Jakarta 400 tahun








Tidak ada komentar:

Posting Komentar